• HOME
  • ABOUT ME
  • OLSHOP
  • VIDEO
  • DAF ISI BUKU

Senin, 12 September 2016

Asal Mula Idul Adha (Hari Raya Qurban atau Hari Raya Haji)

          Pada kesempatan hari ini perkenankan penulis mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1437 H kepada seluruh sobat blogger yang merayakannya, semoga ibadah qurban sobat diterima dan mendapat pahala yang setimpal dari Allah swt. Amin3x ya robal alamin.


          Oke sobat pada kesempatan yang baik ini pula penulis ingin menyajikan artikel tentang asal mula Idul Adha atau Hari Raya Qurban atau Hari Raya Haji, semoga artikel yang penulis sampaikan ini dapat menambah pengetahuan dan keimanan sobat kepada Allah swt.

Terjadinya Sumur Zam-zam
          Nabi Ibrahim AS menikah untuk kedua kalinya dengan Hajar, salah seorang pembantu yang berakhlak mulia, atas saran dari istri pertamanya Sarah. Hal itu dilakukan karena hingga usia mereka yang semakin lanjut, mereka belum juga dikaruniai anak. Sementara Nabi Ibrahim berharap bisa memiliki keturunan untuk meneruskan dakwahnya. Atas izin Allah SWT, tidak berapa lama setelah menikah kemudian Hajar mengandung dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Nabi Ibrahim AS sangat bersuka cita, namun Sarah yang semula begitu menyetujui pernikahan mereka, merasa cemburu melihat Hajar dapat memberi suaminya seorang putra.
          “Kenapa bukan aku?” pikir Sarah. Setelah kecemburuannya tak tertahankan lagi, ia meminta suaminya untuk mengusir Hajar. “Suamiku, bawalah Hajar dan anaknya Ismail pergi dari sini, aku tidak tahan melihatnya,” pinta Sarah. “Tapi, Hajar baru saja melahirkan dan Ismail masih bayi merah, tidak kasihankah engkau pada mereka?” tanya Nabi Ibrahim AS kepada Sarah. “Aku tidak dapat menahan kecemburuanku melihat anugerah yang diberikan Allah SWT pada Hajar, tolonglah bawa mereka pergi jauh-jauh!” Sarah memohon kepada Ibrahim AS. Nabi Ibrahim terdiam. Kemudian turunlah wahyu Allah SWT yang memerintahkannya untuk membawa Hajar dan Ismail ke sebuah gurun pasir. Maka ia segera menyiapkan perbekalan untuk perjalanan mereka. Esoknya berangkatlah ketiga anak beranak ini dari Palestina menuju gurun pasir yang tandus.  Berhari-hari mereka mengarungi gurun pasir yang tandus dan terik hingga tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang bernama Mekah. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat itu.
          “Istriku, disinilah aku harus meninggalkan engkau dan Ismail. Sementara aku harus kembali ke Palestina dan meneruskan dakwahku,” kata Nabi Ibrahim AS. Mendengar kata-kata suaminya, Hajar menangis karena ketakutan. “Suamiku tegakah engkau meninggalkan aku dan anakmu yang baru lahir ini di padang tandus tak berpenghuni ini?” tangisnya. “Kemana nantinya aku mencari perlindungan?”. “Hajar istriku, tentu saja berat hatiku meninggalkan kalian berdua di sini, tapi ini adalah perintah Allah SWT, percayalah pada perlindungan-Nya, Insya Allah Ia akan selalu menolongmu,” kata Nabi Ibrahim AS. Hajar segera menyadari tugas yang diemban suaminya sebagai Nabi, maka dengan ikhlas ia merelakan suaminya untuk kembali ke Palestina. Nabi Ibrahim AS segera memanjatkan doa, memohon perlindungan Allah SWT untuk anak dan istrinya, “Ya Allah lindungilah anak dan istriku dan muliakanlah tanah ini di kemudian hari.” Kemudian dengan perasaan berat ia berpamitan kepada Hajar dan mencium kening Ismail.
          Sepeninggal Nabi Ibrahim, Hajar terduduk di tengah gurun. Matahari seolah ingin membakar semua makhluk yang ada di bawahnya. Setan yang senang menggoda manusia, membisikkan pikiran-pikiran jahat di benak Hajar. “Hai Hajar. Percayakah engkau dengan yang diucapkan suamimu? Allah tidak mungkin memberikan perintah yang kejam. Itu pastilah akal-akalan suamimu untuk mengusir kalian,” bisiknya. “Demi Allah, aku percaya dengan kemuliaan suamiku, pergilah dari pikiranku!” Hajar berbicara dalam batinnya. Untuk menentramkan hati, Hajar memanjatkan doa kepada Allah SWT, “Ya Allah yang Maha Agung lindungilah hambaMu. Dan berilah hamba ketabahan serta kesabaran yang tinggi”.
          Sebentar lagi perbekalan mereka habis, tak ada air yang tersisa. Ismail mulai menangis karena kelaparan dan kehausan. Hajar mencoba menyusuinya, namun tak setetes pun ASInya yang keluar. Ia mulai panik. Ia mencoba memeras kerudungnya, berharap ada keringatnya yang bisa diminum Ismail, tapi keringatnya pun kering. Kemudian Ia meletakkan putranya di tanah. “Anakku, tunggulah di sini, Ibu akan mencoba mencari air, mudah-mudahan di bukit itu ada mata airnya,” kata Hajar. Lalu ia berlari-lari kecil mendaki bukit Shofa hingga ke puncaknya, alangkah kecewanya ia, karena tidak setetes air pun yang ditemukannya. Dari puncak bukit Shofa ia melihat bahwa di bukit satunya (bukit Marwah) sepertinya ada mata air, maka ia kembali berlari menuruni bukit Shofa dan mendaki bukit Marwah. Namun ternyata yang dilihatnya hanyalah fatamorgana, tak ada air di sana, bukit itu sama tandusnya. Tiba-tiba ia melihat kembali bahwa di bukit Shofa ada mata air, segera ia kembali menuju bukit Shofa dan lagi-lagi menemukan bukit itu tandus. Ia terus berlari bolak-balik antara Shofa dan Marwah hingga tujuh kali. Inilah nantinya yang dalam ibadah haji disebut Sa’i. Hajar sangat kelelahan dan hampir putus asa.
          Tiba-tiba ia melihat Ismail yang masih menangis, menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dari hasil hentakkan kaki Ismail itu keluarlah air yang memancar. Hajar segera berlari mendekati anaknya. Air iu memancar deras dan menyebar kemana-mana. “Zam-Zam!” kata Hajar berteriak, yang artinya ‘berkumpullah’. Air itu kemudian berkumpul dan membentuk sebuah genangan yang luas. Dengan gembira Hajar memberi minum putranya hingga kenyang, lalu ia pun minum untuk menghilangkan dahaganya.
Pada waktu itu para pedagang sering melintasi padang gurun tersebut, mereka terkejut dengan kemunculan kolam mata air itu, terlebih lagi melihat keberadaan Hajar dan Ismail di tempat itu. “Nyonya, kami adalah rombongan pedagang yang akan pergi ke negeri jauh, ijinkanlah kami beristirahat dan mengisi perbekalan air kami,” kata ketua rombongan.
“Tentu saja anda boleh, ambillah air hadiah dari Allah SWT ini, tapi bolehkah kami meminta sedikit makanan untuk kami?” kata Hajar. “Dengan senang hati,” kata ketua rombongan.
          Lama-kelamaan semakin banyak pedagang yang lewat dan mampir di air Zamzam untuk mengisi perbekalan. Hajar dan Ismail dianggap sebagai pemilik air Zamzam tersebut. Bahkan mereka membangunkan tempat tinggal untuk mereka berdua. Kemudian banyak dari pedagang dan musafir yang meminta izin untuk menetap sehingga tempat itu menjadi perkampungan yang ramai dan subur. Hajar dan Ismail tidak sendiri lagi. Maha kuasa Allah yang telah menjawab doa hamba-Nya.

Mimpi Nabi Ibrahim AS
          Dalam mimpinya ia merasa mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim AS terbangun dengan terkejut. “Astaghfirullah,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “Mungkinkah setan yang telah memberiku mimpi buruk ?”
          Beberapa tahun kemudian, Nabi Ibrahim AS datang untuk mengunjungi istri dan anaknya. Ia sangat heran melihat perubahan yang terjadi. “Ki sanak, apakah di tempat ini ada seorang perempuan bernama Hajar dan putranya Ismail?” tanya Nabi Ibrahim AS kepada seorang penduduk. “Oh tentu saja. Mereka adalah pemilik sumur Zamzam. Mereka biasanya sedang menggembalakan ternaknya di Arofah,” jawab penduduk. “Terima kasih,” kata Nabi Ibrahim AS.
          Akhirnya Nabi Ibrahim menemukan istri dan anaknya yang sedang menggembala. Mereka berpelukkan dengan bahagia. “Bagaimana kabarmu istriku?” tanya Nabi Ibrahim AS, “Alhamdulillah, Allah SWT selalu melindungi kami,” jawab Hajar. “Ini adalah Ismail putramu, Nak ini adalah ayahmu.” Kata Hajar memperkenalkan. Ismail mencium tangan Nabi Ibrahim AS. “Maafkan ayahmu nak, karena telah meninggalkan kalian begitu lama,” kata Nabi Ibrahim AS. “Tidak apa-apa ayahanda. Itu sudah takdir Allah SWT,” jawab Ismail bijak. “Mari kita pulang ke rumah, pastinya engkau capai dan ingin beristirahat,” ajak Hajar. “Baiklah,” kata Nabi Ibrahim AS.

Perintah Berqurban 
          Mereka segera beranjak dari Arofah. Namun setibanya di Mudzdalifah Nabi Ibrahim AS mengajak mereka untuk beristirahat sejenak. Saking capainya mereka ketiduran. Saat itu Nabi Ibrahim AS bermimpi. Dalam mimpinya ia merasa mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim AS terbangun dengan terkejut. “Astaghfirullah,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “Mungkinkah setan yang telah memberiku mimpi buruk?” Namun esok malamnya, mimpi itu terulang kembali hingga tiga kali.
          Akhirnya ia membicarakan hal itu kepada Ismail. “Nak, sesungguhnya ayah telah bermimpi sebanyak tiga kali. Dan dalam mimpiku, Allah SWT memerintahkanku untuk menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Nabi Ibrahim AS. “Ayahku, jika memang mimpi itu perintah Allah SWT, maka laksanakanlah. Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai anak yang berbakti dan sabar,” jawab Ismail. Nabi Ibrahim AS sangat bersedih hingga menitikkan air mata. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kini ia harus menyembelih putera tercintanya. Ismail memantapkan hati ayahnya. Maka esoknya Ismail berdandan dengan baju terbaiknya. Kepada Hajar mereka pamit untuk berjalan-jalan. Di tengah jalan mereka bertemu seseorang.. “Hai Ibrahim. Betapa kejam hatimu hingga tega menyembelih anakmu sendiri,” katanya. Nabi Ibrahim AS segera menyadari siapa yang menegurnya. Ia mengambil batu kerikil dan melempari orang itu. Kelak inilah yang dalam ibadah haji disebut Jumratul Ula. “Dengan nama Allah pergilah kau setan,” kata Nabi Ibrahim AS. Setan itu pun lari ketakutan dan menghilang.
          Lalu muncul lagi orang yang kedua. Ia pun mengatakan hal yang sama dan Nabi Ibrahim AS melemparinya dengan batu juga. Inilah yang disebut Jumratul Wustha. Muncul lagi yang terakhir yang  juga dilempari batu oleh Nabi Ibrahim AS. Yang ini disebut sebagai Jumratul Aqobah. Kemudian sampailah mereka di bukit Mina tempat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Ismail. “Nak, benarkah engkau ikhlas dengan perintah Allah SWT ini?” tanya Nabi Ibrahim AS. “InsyaAllah,” jawab Ismail. “Tapi aku meminta padamu untuk meringankan deritaku. Ikatlah kedua tangan dan kakiku. Tutuplah mukaku dengan baju ini. Percepatlah gesekan pedangmu. Lalu sampaikan salam dan berikan pakaianku kepada ibuku untuk kenang-kenangan.” “Baik anakku. Aku akan melakukan permintaanmu,” kata Nabi Ibrahim AS dengan hati hancur.
          Ismail berbaring terlentang di atas sebuah batu, sementara pedang Nabi Ibrahim AS telah berada di lehernya. “Bismillahirrohmanirrohiim..” suara Nabi Ibrahim AS begitu gemetar. Sesaat sebelum pedangnya menyentuh kulit Ismail, terdengar suara ghaib memecah angkasa. “Wahai Ibrahim kau telah membuktikan ketaatanmu kepada Allah SWT. Dan Allah SWT berkenan memberimu balasan yang setimpal.”


          Di depan Nabi Ibrahim AS kini berdiri sesosok malaikat yang bercahaya. Ia menuntun seekor domba yang besar dan bagus. “Allahu Akbar, Allahu Akbar..” salamnya. “La Ilaaha Ilallahu, Allahu Akbar.” sahut Nabi Ibrahim AS. “Allahu Akbar, Walillahil Hamdu,” lanjut Ismail. “Wahai Ibrahim. Allah memerintahkan untuk mengganti kurbanmu dengan seekor domba. Sembelihlah domba itu sebagai ganti anakmu. Makanlah dagingnya dan jadikanlah hari ini sebagai hari raya bagimu. Sedekahkanlah sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Demikianlah Allah SWT memberi balasan kepada orang-orang yang taat,” kata Malaikat.
          Nabi Ibrahim AS dan Ismail sangat gembira. Mereka menyembelih domba tersebut dan membagi-bagikan sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Begitulah asal mula adanya Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban atau disebut juga Hari Raya Haji.